Embun yang Terbakar Matahari


Tak terasa butiran air hangat mengalir di pipinya. Berhulu di mata kemudian mengalir melewati kontur wajah itu. Tak tau kemana arah aliran itu pergi, tak ada muara. Ditumpahkan segala kegundahan yang mengganjal di hati. Hati yang berisi kebingungan, rintihan dan umpatan kepada diri sendiri. Hati yang lelah menahan keperihan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya dia dan sang Penciptalah yang tau bagaimana kondisi hatinya sekarang. Ditatapnya sajadah yang membentang di lantai yang masih dilapisi oleh semen, sesekali kerikil yang menempel pada semen muncul diatasnya. Diungkapkanlah segala yang dirasakannya kepada Penciptanya. Tak kuat bila harus menahan beban sendirian, ia pun mengadu dan menangis tersedu-sedu. Berharap sang Pencipta memberikannya kesadaran, kekuatan dan ketabahan menghadapi semuanya.
Inilah awal mula kisah ini. Masalah yang dihadapi perempuan ini tergolong masalah klasik. Sekian lama menjalin hubungan dengan orang yang dicintai dan menghadapi kenyataan bahwa dirinya tidak diterima oleh keluarga lelaki hanya karena materi. Begitu jahat, begitu sadis. Kasih yang dipupuk sekian tahun lamanya kini kandas karena tidak adanya kata setuju dari orang tua si lelaki. Tak dapat restu hanya gara-gara dia berasal dari kalangan yang dipandang sebelah mata. Sudah lebih dari 2 tahun dia menjalani hubungan dengan kekasihnya ini. Mereka saling mencintai dan saling melengkapi satu sama lain. Sampai suatu saat niat baik datang dari kekasihnya. Lelaki ini melamarnya untuk dijadikan pendamping hidup untuk selamanya. Betapa bahagianya dia, dilamar oleh kekasih yang dicintainya selama ini.
Bersiap-siaplah dia dengan penampilan anggunnya malam itu. Dikenakan dress terbaik yang dibeli disalah satu toko ternama. Malam ini dia akan diperkenalkan kepada orang tua si lelaki. Tak mau terlihat buruk di mata sang calon mertua, diapun berdandan dan mempercantik diri, lebih cantik dari biasanya. Seakan-akan kutipan lirik lagu dari Lobow pantas dinyanyikan untuknya malam ini, yaitu: Kau cantik hari ini, dan aku suka. Begitulah, ia telah mempersiapkan semuanya mulai dari kata-kata memulai percakapan, pertengahan, dan penutup. Seperti hendak berpidato, ia tidak mau kelihatan bodoh di mata calon mertuanya nanti.
Jarum jam telah menunjukkan ke angka yang telah ditentukan dimana ia dijemput oleh kekasihnya. Dengan langkah yang gemetar dan goncangan jantung yang tak karuan, dia memasuki mobil yang pintunya telah dibukakan oleh kekasihnya beberapa menit yang lalu. Dia merasa kaku karena hari ini adalah hari pertama dia bertemu dengan orang tua si lelaki. Sebelumnya mereka belum pernah bertemu karena kesibukan masing-masing dan waktu untuk mengadakan pertemuan yang belum pas. Tak lama kemudian sampailah mobil yang melaju itu di rumah si lelaki. Perempuan ini dipersilahkan duduk dan ditawari minuman serta makanan kecil yang terletak di meja ruang tamu. Dia hanya duduk terdiam sambil menunggu orang tua si lelaki datang. Benar, tak lama kemudian muncul lah dua orang yang berumur sekitar 50 tahunan menghampiri perempuan ini. Duduk berhadap-hadapan dan saling melempar senyum walaupun itu hanyalah basa-basi, ya sandiwara semata. Dari tatapannya, kelihatannya orang tua si lelaki memperlihatkan wajah yang menunjukkan bahwasanya mereka tidak menyukai perempuan ini. Tatapan sinis dan angkuh terlihat di wajah orang tua itu. Terlebih lagi oleh ibu kekasihnya. Tak ada tatapan syahdu, yang ada hanyalah tatapan sangar dan menakutkan sekali. Si perempuan hanya bisa terdiam sesekali menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan itu. Melihat suasana seperti itu, si lelaki memulai pembiacaraan.
Lelaki             : Bu, Pak. Perkenalkan, ini perempuan yang kuceritakan waktu itu. Maaf baru kali ini kubawa ke rumah karena menurutku inilah saat yang tepat. Inilah perempuan yang akan menemani perjalanan hidupku hingga tua nanti, baik itu susah mapun senang. Aku bersungguh-sungguh. Aku mencintainya. Dengan segenap ketulusanku, aku akan menikahinya.
Kemudian suasana pun hening, semuanya terdiam. Kemudian ibu si lelaki berkata,
Ibu Lelaki       : Oh jadi ini dia. Dari awal kamu menceritakan perempuan ini kepada ibu, sedikitpun ibu tidak suka. Bahkan seujung kuku pun aku tidak menyukainya.
Sontak si perempuan pun terkejut serasa jantungnya mau putus. Dia tidak menyangka sama sekali, ternyata inilah penilaian ibu si lelaki kepada dirinya. Tidak ada menunjukkan rasa suka sama sekali. Tidak ada.
Kemudian ibu si lelaki ini melanjutkan ucapannya,
Ibu lelaki           : Sudah berapa kali kuperingatkan kau untuk tidak berhubungan dengan perempuan ini, dia berbeda dengan kita. Tidak sederajat! Beda kasta! Buka matamu nak, tidak ada yang bisa dibanggakan dari dia. Dia orang yang tak berada! Apa kata tetangga nanti jika kau menikah dengan dia. Ibu tak mau menanggung malu.
Lelaki                 : Tapi bu,
Ibu lelaki            : Diam! Sekarang bawa perempuan ini keluar, jangan sekali-kali dia menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Ibu tidak sudi!
Sepenggal perbincangan diatas merobek-robek hati si perempuan. Ia tidak menyadari betapa bencinya ibu lelaki itu kepadanya. Ia menyesali pertemuan itu. Bagai tak punya harga diri, dia pulang sendiri dengan hati yang terlunta-lunta. Si lelaki mengejar, tapi apalah daya, tertahan oleh kedua orang tuanya. Ia tidak dibolehkan pergi meyusul perempuan itu.
Begitulah ceritanya, embun yang dulunya sejuk menyejukkan, kini terbakar oleh matahari. Sama halnya seperti kisah cinta mereka, terbakar begitu saja oleh restu orang tua. Tak ada lagi yang bisa diperbuat, hanya bisa mengadu kepada waktu untuk mengubur habis kenangan-kenangan yang telah tercipta. Sungguh menyedihkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN NONGRONG ANAK-ANAK ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK DITINJAU DARI SEGI PERSPEKTIF SPASIAL

Kawah Anjing

10 Muwashofat Pemuda Muslim