Pahit Manis Skripsi

‘Mohon bersabar... mohon bersabar... ini ujian. Hidup itu perjuangan, hidup itu perjuangan’.
Kalimat diatas merupakan kalimat yang sering aku dengar ketika jemari ini dengan lincah menggeser-geser laman timeline sosial media pada layar sentuh handphone. Suara laki-laki yang dengan lantang menyebutkan kalimat tersebut kepada seseorang yang kabarnya ditinggal menikah oleh mantannya. Suara itu diucapkan (mungkin) oleh bapak penghulu kepada mantan si perempuan yang datang disaat pesta pernikahan. Begitulah asal usul dari kalimat tersebut hingga menjadi viral di sosial media. Memang, hidup itu butuh perjuangan. Tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini. Semuanya butuh proses dan usaha yang maksimal untuk mendapatkan sesuatu hal yang maksimal pula. Kisah ku berbeda dengan latar belakang cuplikan ucapan penghulu diatas. Akan tetapi ucapan dari penghulu tersebut menjadi pengantar aku dalam menulis cerita ini.
Bersabar, ya kita memang harus bisa bersabar dalam segala situasi. Hidup itu perjuangan, ya memang hidup itu butuh perjuangan agar dapat bertahan hidup di bumi ini. Dengan berbagai cobaan yang diberikan Sang Pencipta kepada kita, membuat kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Aku merasakan nikmat Allah yang diberikan kepada ku begitu besar. Tahun ini, aku bisa menyelesaikan masa studi ku di dunia perkuliahan. Dilema mahasiswa tingkat akhir yang telah dirasakan oleh mereka-mereka yang telah lulus juga aku rasakan tahun ini. Ya, tahun 2017. Skripsi. Satu kata yang bisa menjadi beban bagi mahasiswa tingkat akhir. Bayangkan, hanya satu mata kuliah yang bernama skripsi ini membuat para mahasiswa makan tak enak, tidur tak nyenyak. Terlalu berlebihan jika aku mengatakan ini, tapi begitulah keadaannya. Mau kemanapun raga ini bergerak, skripsi tetap terngiang-ngiang di kepala, dan menyesakkan di dalam dada.
Langkah-langkah pembuatannya pun cukup rumit. Dimulai dari pembuatan proposal, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan hasil penelitian dan hasil akhir. Banyak sidang-sidang yang dilalui. Diataranya sidang proposal, sidang hasil penelitian (sidang draft) dan sidang akhir (kompre). Tahap-tahap seperti itu lah yang membuat mahasiswa harus sigap dalam menyelesaikan skripsinya agar tidak melebihi dari batas-batas waktu sidang yang telah ditentukan. Belum lagi revisi dari dosen pembimbing, mengejar tanda tangan pembimbing, bertemu dengan penguji yang ‘galak’ dan pengurusan administrasi maupun surat-surat yang memakan waktu yang lama. Hal ini aku alami sendiri, dan aku sempat berpikir betapa hebatnya senior-senior yang telah lulus menjalani tahap-tahap ini seperti yang aku rasakan saat ini.
Hari-hari terlewati dengan beban skripsi di hati. Setiap hari memikirkan skripsi hingga menyita waktu untuk bermain. Melihat teman dengan progres yang cukup cepat membuat jiwa ini bergejolak dan merasa ketinggalan. Akibatnya, hati meyakinkan diri agar segera cepat menyusul teman yang sudah jauh progresnya tersebut. Jika dia selesai BAB II, maka aku harus selesai BAB IV (wkwkwk). Ya memang seperti itu lah agar bisa memotivasi diri untuk menyelesaikan skripsi agar tidak ketinggalan dari yang lain.
Aku merasakan kepahitan yang begitu pahit ketika menghadapi sidang hasil (seminar draft). Aku gagal dalam seminar draft. Aku diminta untuk mengulang seminar dua minggu berikutnya. Dengan tampang yang biasa-biasa saja dan sok tegar, aku keluar dari ruangan tempat aku seminar tadi sambil mendengar kata-kata semangat dari teman-temanku, ‘Sabar ya, kamu pasti bisa kok’, ‘Sabar ya, kamu pasti bisa lebih baik dari ini. Ada Allah’. ‘ Sabar ya, dosen nya baik, kamu masih diberi kesempatan untuk membuat hasil penelitiannmu menjadi lebih baik’. Berbagai kata ‘Sabar ya’ yang aku dengar dari mulut teman-temanku. Walaupun mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan waktu itu, tapi aku apresiasi mereka karena masih peduli kepadaku dan ‘berbelasungkawa’ atas gagal nya aku dalam seminar draft ini. Ekspresi dan kata-kata dari dosen masih terbayang di otakku ‘Kamu penelitiannya sudah kebablasan, melebar kemana-mana’,’Kamu jangan iya-iya aja, bisa-bisa penelitian kamu ini disebut tidak layak’ daannnn.. masih banyak lagi yang diucapkan oleh penguji kepada ku.
Aku merasakan diri ini jatuh kepada kegagalan yang sempat membuat aku kehilangan semangat. Aku coba membandingkan diri ini dengan orang lain yang ujung-ujungnya malah semakin memperburuk keadaan. Aku berpikir ‘Kenapa sih kayak gini banget? Kenapa aku dapat penguji yang seperti ini? Kenapa mereka sama sekali tidak menghargai hasil aku? Kenapa nilai seminar yang aku dapatkan lebih rendah dari teman-temanku? Kenapa aku seminar draftnya begini banget? Kenapa teman-temanku yang ketika aku hadiri seminarnya kelihatan baik-baik saja dan mendapatkan penguji yang begitu santai? Kenapa aku harus begini, kenapa???!!!’ Kata-kata seperti itu terlintas dan selalu terngiang-ngiang di otakku. Nilai yang aku dapatkan begitu jelek dari yang aku bayangkan. Belum pernah aku semasa kuliah mendapatkan nilai seperti ini. Kenapa dimasa yang sangat penting ini, dimasa yang menentukan kelulusan ku pada perkuliahan ini aku mendapat nilai yang begitu rendah? Kenapa? Aku bertanya-tanya. Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kenapa harus aku yang mendapatkan nilai seperti ini yang membuat aku harus mengulang seminar draft satu kali lagi? Kenapa aku harus dapat penguji yang perfeksionis sedangkan yang lain tidak? Kejadian ini menyebabkan aku tidak sanggup membuka laptop selama 2 hari karena aku sudah tak mau lagi mengingat-ngingat akan seminar draft hari itu. Tiap malam yang aku lakukan hanyalah menangis...menangis... dan menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meluapkan rasa sedihku yang teramat sangat sedih. Baru kali ini selama di perkuliahan yang kurang dari 4 tahun ini aku merasakan hal yang seperti ini. Sungguh.
‘Bersedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Menangislah...luapkan segala kesedihan mu. Menangislah seharian jika hal tersebut mampu menghabiskan masa sedihmu. Tapi ingat, besok tidak boleh menangis lagi. Jatah menangis hanya boleh sehari’. Begitulah kata seorang teman dekatku yang selalu menyemangatiku dalam kondisi apapun. Hinggga pada suatu hari aku sadar bahwa menyalahkan keadaan dan menyalahkan orang lain tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya menyesali keadaan. Semuanya telah diatur dengan indah oleh Allah. Akhirnya aku menyadari bahwa Allah memberikan keadaan seperti ini dan memberikan cobaan seperti ini karena aku kuat. Aku sanggup menghadapinya. Aku sanggup untuk bangkit. Aku berpikir bahwa mungkin usaha ku kemarin belum maksimal dan Allah menginginkan aku untuk memberikan hasil yang lebih baik lagi.
Aku bangkit. Kembali kubuka coretan-coretan tinta dosen pada hardcopy skripsiku. Aku catat semua yang mesti aku perbaiki. Aku coba memahami semua dan mengingat-ingat keinginan dosen penguji yang harus aku tuliskan ke dalam skripsi ku ini. Aku mulai menulis. Siang hari hingga malam hari. Aku rela tidak tidur seharian demi mengerjakan perbaikan-perbaikan dari dosen pada saat seminar draft kemarin. Aku bangkit. Aku bangkit dan aku bangkit. Aku berusaha sekuat tenaga dan meyakini diriku kalau aku bisa! Tak henti-hentinya aku berdoa kepada Allah dibulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Aku tau, Allah memiliki rencana yang lebih indah dari pada rencanaku.
Hingga pada akhirnya aku mengikuti seminar draft lagi. Aku dengan semangat yang tinggi dan dengan rasa percaya diri memperlihatkan usaha ku kepada dewan penguji. Apa yang aku terima? Ya, Allah menjawab doaku. Seminar hari itu lancar dan aku mendapat pujian dari dosen pengujiku. ‘Nah.. begini. Skripsi kamu bagus. Saya tidak memberi banyak komentar, pertanyaannya saya simpan untuk hari sidang saja’. Begitulah ucapan salah satu penguji ku. Aku sangat tenang sekali dan merasa lebih percaya diri untuk maju ke sidang akhir.
Aku belajar dengan giat dan membaca ulang skripsi serta memahami teori-teori yang aku gunakan dalam penelitianku agar aku bisa menjawab pertanyaan dosen pada saat ujian sidang akhir nanti. Dan... Sidang akhir pun tiba. Pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB aku berada di dalam ruang sidang dan mempresentasikan hasil karya ku dihadapan 5 dosen penguji (pembimbing merangkap sebagai penguji juga pada hari sidang).  Berbagai pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh dewan penguji dan aku mencoba menjawabnya dengan teori-teori yang telah aku pahami. Allah menjawab doa ku. Suasana sidang yang aku pikir menegangkan, penuh dengan tekanan-tekanan dan ada juga yang menyebabkan mahasiswa menangis di waktu sidang, hal itu  sama sekali tidak aku rasakan. Aku merasa sidang yang kulalui kemarin sangat sangat lancar dan berjalan santai, bahkan penuh dengan canda tawa. ‘Skripsi mu bagus. Dua jempol buat kamu. Kami telah merundingkan dan memberi nilai. Dan hasilnya, selamat kamu lulus dengan nilai (*tiittt)’. Ya, aku lulus dan mendapat nilai yang sempurna.


Mungkin dalam menulis cerita ini, aku terkesan berlebihan. Tapi begitulah adanya. Dari pengalaman ini aku mengambil kesimpulan bahwa dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Allah memberikan ujian itu karena Allah tau kita mampu untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dibalik susahnya perjuangan yang telah dijalani, Allah telah mempersiapkan kejutan besar kepada kita dibalik perjuangan itu. Percayalah dengan kekuatan doa. Kemudian satu lagi, bersedih boleh. Tapi jangan biarkan kesedihan itu berlarut-larut dan hal yang harus dilakukan setelah itu adalah BANGKIT! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBIASAAN NONGRONG ANAK-ANAK ASRAMA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK DITINJAU DARI SEGI PERSPEKTIF SPASIAL

Kawah Anjing

10 Muwashofat Pemuda Muslim